Banyuwangi, 13 November 2022 Sejak ditetapkan saudara NH sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi mamin di lingkungan kantor BKPP oleh Kejaksaan Negeri Banyuwangi, sontak para pihak seolah dalam komando merespon dengan berbagai aksi seperti pemasangan spanduk, dan bentuk-bentuk tulisan di sudut-sudut kantor kejaksaan dan gang-gang perkotaan. Reaksi spontan atau terkondisi bukti bahwa pandangan awam hukum masih perlu diintervensi. Pada hal hukum dan proses hukum sudah ada SOP atau mekanisme tata caranya. Entah latar belakang apa yang menjadi motivasi mereka untuk melakukan tekan-tekanan masih terhadap lembaga peradilan itu.
Aktivis bidang advokasi hukum yang tergabung dalam sayap partai PDIP Cabang Banyuwangi, Gembong A Rifai Ahmad, S.H. menilai bahwa kasus yang menimpa NH itu menjadi momen sarat kepentingan. Setelah ditanya awak media kepentingan apa, Gembong menjawab “kepentingan macem-macem Mas, sahutnya. Aroma politik juga ada, aroma ekonomi juga kuat, pokoknya kasus itu bisa menjadi panggung sekaligus sebagai bargaining”. Sambil ketawa advokat muda asal Genteng itu setengah berkelakar.
Selanjutnya advokat Peradi itu ajak semua pihak untuk mempelajari itu pasal-pasal KUHP tentang penahanan terhadap seseorang yang dinyatakan sebagai TSK.
Aparat hukum itu sudah bekerja sesuai SOP. Percayakan saja dengan mereka. Mereka itu profesional yang kinerjanya juga diawasi oleh lembaga di atasnya dan lembaga lain yang relevan. Masyarakat juga berhak ikut mengawasi. Tata caranya sudah diatur, misalnya disalurkan lewat persurat. Hukum itu independen dan kejaksaan sebagai APH tidak bisa dipaksa-paksa, ditekan-tekan. Mereka juga tidak akan bekerja karena tekanan, paksaan pihak lain kecuali mengikuti aturan main, begitu.
Selanjutnya, Gembong, panggilan akrab lulusan PKPA UGM itu. “Menilai kasus yang melibatkan NH ada banyak muatan-muatan lain, Mas katanya. “… Itu hal biasa apalagi di Banyuwangi, ” tukas advokat bertubuh gempal itu, sambil tertawa ngakak.
Diketahui bahwa kasus dugaan korpusi itu, terjadi pertama di Banyuwangi pada era kepemimpinan bupati AAA dan Bupati Ipuk, setelah kasus melanda belasan pejabat Pemkab dan BKD (BKPP) di era Bupati SH dan RAL (AWI).
Komentar