BANYUWANGI – Petani hari ini menghadapi situasi yang sangat genting, bukan karena tanamannya diserang hama atau pun penyakit, namun menghadapi kelangkaan pupuk bersubsidi yang kini menjadi barang yang langka. Selasa (27/09/2022).
Kini petani tidak hanya memegang jidad atau mengelus dada, petani hari ini pontang panting cari solusi. Situasi sulit karena langkahnya pupuk bersubsidi hampir tidak ada ditoko mau pun agen pertanian.
Walau begitu, Para petani tak mau menyerah dengan terpaksa mereka melawan situasi genting ini, dengan cara apapun ditempuh agar bisa bercocok tanam tanpa pupuk bersubsidi.
Wakil rakyat belom bisa memberi solusi yang terbaik saat ini. Petani tetap bertahan mengeluarkan ke dekdayaan seperti dimedan perang, hanya nasib baik yang bisa diharapkan dalam situasi seperti ini.
Bagaimana tidak, harga pupuk antara non dan bersubsidi bagaikan bumi dan langit, harga pupuk bersubsidi 100 ribu per sak isi 50 kg, sedangkan yang non subsidi mencapai 500 bahkan sampai 900 ribu per sak tergantung merek.
Seperti petani holtikultura di Desa Kaliploso, mereka mengaku jika bidang tanahnya seperempat hektar untuk tanaman cabe harus menyiapkan modal tak sedikit, hingga mencapai puluhan juta.
Supranadi warga Dusun Plosorejo, Desa Kaliploso, Kecamatan Cluring, mengakui kelangkaan pupuk bersubsidi sangat berimbas pada petani. Banyak petani terpaksa memakai gaya lama dalam bercocok tanam, mereka harus pakai humus nama kerennya pupuk organik.
“Hilangnya pupuk bersubsidi memberatkan petani sebab kita harus keluarkan modal banyak, sukur cabe harganya bisa mahal tapi kalau harga dibawa rata rata pasti hasil kita panen tidak mampu menutupi biaya yang sudah kita keluarkan. Harga cabe merah dari petani harus 25 ribu jika dibawa itu pasti merugi,” ungkap Supranadi.
Meski begitu, petani di Desa Kaliploso enggan berhenti menanam, sebab sebagian warga disitu dominan para petani. Walau harus beli pupuk dan obat pertanian dengan harga cukup tinggi mereka tetap bercocok tanam.
Diketahui, selisih harga antara pupuk Subsidi dan non Subsidi cukup fantastik. Petani terpaksa membeli pupuk non subsidi sebagai yang lain memakai pupuk organik, entah nanti saat panen mendapat ke untungan atau malah buntung. Mereka berharap keberuntungan tetap berpihak padanya.
“Harga pupuk subsidi jauh lebih malah denga non subsidi itu membuat kita berat pembiayaan, ketika kita tanam cabe merah dari mulai pengolahan tanah sampai tanam bibit jika lahannya seperempat hektar itu butuh modal 6 juta, belom pembesaran sampai masa berbuah, ya kurang lebih hampir 20 juta. Itu kalau pakai pupuk non subsidi apa ngak tambah membengkak biaya kita,” keluh Supranadi.
Supranadi menambahkan, petani saat ini berharap agar pupuk subsidi kembali ada. Kalau pun petani harus memakai pupuk organik petani minta ada pelatihan. sebab tidak mudah memakai pupuk organik karena petani sudah terbiasa memakai pupuk kimia. Merubah pola tanah yang biasa memakai pupuk kimia dan beralih ke organik butuh proses.
“Menurut pengalaman saya, ketika kita sering memakai pupuk kimia tanah menjadi rusak jika ditanami terkadang kurang bagus (jebuk) efeknya tanaman bisa mati, agar tanah kembali normal sesekali pakai pupuk organik.” Terang Supranadi.
Senada dikatakan oleh Ratih Nurhayati anggota DPRD Banyuwangi dari fraksi Partai NasDem, adanya pupuk bersubsidi yang hilang dipasaran bertujuan petani tidak ketergantungan dengan pemakaian pupuk kimia.
“Kita harus ada inovasi adanya problematika pupuk saat ini, kita berusaha mengembangkan pupuk organik agar petani tidak ketergantungan kepada pupuk kimia.” Kata Ratih Nurhayati saat acara aspirasi masyarakat Desa Kaliploso. (Ry//JN).
Komentar