Presiden Ir. H. Joko Widodo telah mengumumkan pengakuan atas 12 pelanggaran HAM berat yang terjadi di negeri kita selama era pemerintahan Rezim Orde Baru sampai dengan sekarang. Pengakuan Presiden diumumkan setelah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Azasi di Istana Negara Jakarta (11/1/2023). Pengakuan semestinya tidak hanya sekadar seremonial tetapi ada implikasi hukumnya. “…tentu tidak sederhana itu, kalau ada pengakuan resmi dari pemerintah dalam hal ini Presiden, berarti membenarkan adanya kejadian itu. Pelanggaran HAM berat adalah kejahatan yang dilakukan oleh institusi negara terhadap warga negara. Ada kejadian (tempat dan waktu), ada korban dan tentu ada pelaku, ”ungkap aktivis YLC (Young Lawyer Club) Gembong Aji Rifai Ahmad, S.H. Senin (22/01/2023)
Diketahui bahwa dari 12 pelanggaran HAM berat yang diakui pemerintah itu satu di antaranya adalah peristiwa pembantaian dukun santet di Kab. Banyuwangi. Peristiwa tahun mengerikan itu terjadi antara tahun 1998-1999. Diawali suasana cheos politik dalam negeri menjelang runtuhnya rezim Presiden Soeharto, hampir terjadi di seluruh wilayah NKRI terutama di Jawa Timur dengan isue ‘Ninja’. Penjarahan terhadap toko-toko sembako, penebangan liar kayu jati perhutani, terakhir pembantaian yang dituduh dukun santet (praktik tukang sihir) oleh masyarakat. Sedikitnya ada 115 orang (data lain menyebutkan korban tewas 148 orang) tewas rata-rata dengan cara disiksa oleh massa. Ada yang digantung, dipenggal lehernya hingga patah, dibakar dan dibuang jasadnya begitu saja.
Pelanggaran HAM-nya terletak pada kelalaian, sengaja pembiaran oleh institusi pemerintah yang berwenang menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. Sementara Presiden Joko Widodo, menyikapi terjadinya pelanggaran HAM berat yang terjadi di Banyuwangi itu dengan tindakan moral dari pihak pemerintah seperti permintaan maaf dan rehabilitasi nama baik keluarga serta bantuan sosial. Terus bagaimana implikasi hukumnya?
“Banyak pihak mempertanyakan implikasi hukumnya, siapa yang bertanggung jawab atas kasus itu. Keadilan hukum harus ditegakkan bukan sekadar untuk memenuhi janji politik belaka. Kalau itu yang terjadi berarti pengakuan atas pelanggaran berat HAM yang selama ini terjadi hanyalah sebuah aksesoris politik, “ujar pengacara muda asal Genteng itu.
Penyelesaian non-yudisial dalam menyikapi kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pula di Banyuwangi tahun 1998-1999 artinya selesai pada bentuk perhatian, rasa empati, penyesalan yang diwakili oleh Presiden kepada keluarga korban bukan penegakkan hukum. Dalam hal ini, masih menurut Gembong, berarti “Peristiwa yang menewaskan ratusan orang warga sipil itu pula tidak ada implikasi hukum positifnya, selesai secara natural bersamaan berjalannya waktu, ” katanya.
(AWI)
Komentar