oleh

(Sudah Saatnya) Menulis Sejarah Banyuwangi Sendiri

-Opini-1.184 views

Sudah bukan jamannya lagi, kita warga Banyuwangi, baik yang meneruskan karyanya di Banyuwangi maupun yang berada di perantauan untuk hanya berbangga-bangga soal Banyuwangi. Memang saat ini Banyuwangi seakan-akan jadi primadona, baik di bidang investasi, tata penyelenggaraan pemerintah, khususnya lagi pariwisata.

Tak dipungkiri, Tuhan telah menganugerahi penduduk Banyuwangi sebuah alam yang perlu banyak disyukuri. Kalau boleh mengutip almarhum kolumnis Belanda yang tinggal di Bandung, MAW Brouwer; Tuhan sedang tersenyum saat menciptakan Banyuwangi. Dari pantai yang indah (Grajagan, Pulau Merah dll), gunung-gunung (Raung, Ijen) dan hamparan lanskap, hutan, sawah, ladang yang indah di antara keduanya.

Yang tak kalah pentingnya, khususnya untuk daya tarik wisata adalah orang-orangnya. Mereka ini membuat Banyuwangi sekarang seperti laboratorium kebudayaan yang tak habis-habisnya untuk dibahas. Setiap saat, para seniman Banyuwangi menciptakan tari-tarian, pertunjukan, gending-gending baru dan kreasi seni lain.

Negeri yang penuh kontras. Meski mayoritas beragama Islam, kesenian dan upacara sakral yang mengandung nuansa pemujaan terhadap leluhur, seperti Seblang Bakungan, Seblang Olehsari, Kebo-keboan, masih hidup terus. Kabupaten dengan jumlah pesantren yang lebih banyak dari sekolah umum, tetapi kadang miris melihat kenyataan bahwa tempat-tempat maksiat juga terjaga eksistensinya.

Di saat kesenian rakyat daerah lain, tinggal menunggu ajal seperti Lenong di Jakarta atau Ludruk di Surabaya, kesenian rakyat seperti Damarwulan, Gandrung dan lain-lain malah menunjukkan aktivitas kegairahan yang meningkat. Ada kabar dua grup Damarwulan di Muncar, yang mendapat tanggapan 30 kali dalam sebulan, kecuali masa libur mereka saat Ramadhan dan sekitar hari raya haji-Idul Adha.

Lagu-lagu daerah (meski belakangan diracuni oleh selera murahan yang mengandalkan betotan syahwat sebagai daya tarik) tetap menjadi tuan rumah di nagarinya sendiri. Dan menjawab tantangan jaman, musik daerah yang digemari telah bermetamorfosis dari angklung, menjadi kendang kempul atau yang belakangan dipengaruhi musik blues (kelompok POB dan pengekornya). Sampai pada sekarang yang lebih sekedar mengikuti ajakan waktu, atas nama trend dan selera pasar, seperti koplo yang bisa jadi hanya liriknya saja yang berbahasa lokal tetapi tidak ada identitas musik yang bisa diasosiasikan dengan kesenian Banyuwangi. Bahkan tidak lagi mengikuti notasi musik Banyuwangi.

Kembali ke masalah Banyuwangi sebagai laboratorium kebudayaan daerah. Kita mesti angkat topi kepada para seniman seperti: Mbok Temu, Mbok Kusniah, Pak Mitro, Pak Tejo, Pak Sahuni, Pak Subari Sofyan, Pak Bashir Nurdian, Pak Fatrah Abal, Pak Andang CY, Pak Hasnan Singodimayan, Pak Armaya, Pak Achmad Aksoro, Pak S Yadi K,  dan seniman-seniman lain yang tak dapat disebut satu per satu yang hidup berserak se-antero Banyuwangi.

Karena pengetahuan dan pengalamannya yang mumpuni, mereka ini jadi tempat bertanya. Tapi mengingat usianya, Banyuwangi perlu merasa khawatir. Mereka ini perlu segera mendapat perhatian. Kalau boleh memakai istilah bahasa Inggris, mereka ini adalah Perpustakaan yang terbakar (Libraries on fire).

Dan kalau sampai mereka meninggal, tanpa banyak didokumentasikan, mereka akan membawa seluruh pengetahuannya yang sangat berharga ke liang lahat. Dan generasi penerus cuma bisa mereka-reka.

Selama ini, mereka juga menjadi tempat bertanya bagi para peneliti-peneliti dari berbagai universitas baik dalam maupun luar negeri. Semestinya, kita masyarakat Banyuwangi sudah mulai berhenti berbangga, bahwa satu dua orang senimannya menjadi obyek penelitian. Hanya menjadi nara sumber dari sebuah penelitian. Yang hasilnya dituliskan oleh peneliti-peneliti luar. Karena dari luar, mereka ini mau tidak mau akan memakai kacamatanya sendiri dalam melihat sebuah persoalan, melihat kenyataan yang ada.

Peta jadul Banyuwangi. (Sumber foto internet).
Peta jadul Banyuwangi. (Sumber foto internet).

Sudah saatnya Banyuwangi menuliskan sejarahnya sendiri. Kita memang tidak bisa membendung peneliti penulis dari luar untuk berhenti menulis tentang Banyuwangi. Justru kita malah harus berterimakasih kepada mereka yang masih mempunyai perhatian kepada Banyuwangi.

Yang harus dilakukan adalah, para penulis Banyuwangi untuk mencatat banyak-banyak, menulis banyak-banyak tentang Banyuwangi, sehingga kita tidak menjadi obyek tulisan saja. Sudah saatnya dihentikan penelitian yang diistilahkan sebagai “melihat dari kapal pesiar”, peneliti asing yang mengeker dari kapal, dan menuliskan hasil penelitiannya. Yang lebih parah, kalau hasil penelitian atau tulisan yang dipublikasikan bertentangan dengan kehidupan sebenarnya (ini sangat mungkin terjadi kalau model penelitian kapal pesiar dilakukan dan para peneliti asing, yang juga punya interest melihat persoalan dari kepentingan mereka).

Sudah saatnya kita menulis sendiri sejarah kita. Sudah bukan jamannya lagi kita meneriaki saudara kita yang mengangkat persoalan dengan sudut pandang lokal. Dan kalau para penulis, pembuat film Banyuwangi mau mendokumentasikan apa yang mereka lihat, mereka rasakan, hasil tulisannya akan jauh lebih berwarna daripada apa yang ditulis oleh liyan (orang lain).

Saat ini teknologi sudah membuat segalanya menjadi mudah. Kalau penerbitan buku cetak susah, kita bisa tampilkan secara on-line. Film dokumenter susah ditayangkan di televisi, kita cari media alternatif yang bisa menayangkannya.

Dan kita biasakan, kalau ada orang menulis buku yang kita tidak merasa cocok, kita balas dengan buku. Artikel kita balas dengan artikel. Dan berhenti sekedar mencaci maki. Belajar dari Damarwulan yang dulunya berdasarkan naskah ”paksaan” yang menjelekkan orang Banyuwangi sendiri, harus kita balas dengan cerita yang lebih baik.

Tidak cukup hanya mengata-ngatai perbuatan orang lain yang menulis jelek terhadap kita. Kita tidak bisa menyalahkan penulis Damarwulan, karena dia menulis dengan sudut pandang dan kepentingan nagarinya. Kita harus bikin cerita lebih baik, dan seperti sudah dilakukan, berhenti mementaskan Damarwulan dengan sudut pandang Mataraman.

Sebenarnya sudah ada beberapa penerbitan, sebagian berkala, seperti Majalah Kebudayaan Jejak yang kemudian menjadi Lembar Kebudayaan, kemudian Komunitas Sejarah Banyuwangi Koseba menerbitkan Mozaik Banyuwangi 1 dan 2, Majalah dwi-tahunan berbahasa Using, Lontar yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Jawa Timur di Surabaya, Jurnal Strungking, Jurnal NaguD. Dulu juga pernah ada majalah Seblang, tapi entah bagaimana nasibnya. Atau pun yang berupa blog, seperti padangulan.wordpress atau osingkertarajasa.wordpress.com, lepasparagraf1.blogspot.com.

Namun, melihat materi yang begitu kaya, sepertinya Banyuwangi memerlukan lebih banyak tangan putera-puterinya untuk menuliskan sejarahnya sendiri.

Mudah-mudahan dengan gerakan pendokumentasian sejarah Banyuwangi ini, Banyuwangi akan semakin baik ke depannya. Tidak sekedar menjadi obyek, kita harus menjadi bagian yang menentukan hasil tulisan atau penelitian tersebut. (JN)

Foto: (Dok Pribadi Antariksawan Jusuf)
Foto: (Dok Pribadi Antariksawan Jusuf)

Penulis : Antariksawan Jusuf, Ketua Umum Sengker Kuwung Belambangan. Penulis buku bahasa Using serta editor lebih dari 10 buku berbahasa Using.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News